PROTEKSIONISME
Sejak pesatnya era perdagangan
Internasional hingga sekarang tidak memungkiri hubungan yang terjadi diantara
negara-negara di dunia ini. Dengan semakin terintegrasinya perdagangan
Internasional, tentui hubungan perekonomian negara-negara akan semakin
interdependent. Akan tetapi keadaan ini menyimpan beberapa permasalahan,
terutama dengan semakin maraknya praktek neo-merkantilisme yang digadangi oleh
Amerika Serikat yang sekarang ini sedang berada dipuncak perekonomian dunia.
Dalam praktek perdagangan bebas yang
global, negara sering kali masih melakukan praktek proteksionisme, demi
meningkatkan kesejahteraan domestik ketimbang kesejahteraan global.
Definisi
Proteksionisme
Proteksionisme merupakan istilah generik
yang digunakan untuk menjelaskan beberapa kebijakan yang melindungi produsen
domestik dari kompetisi dengan produsen luar negeri. Proteksionisme juga sering
disebut dengan Beggar-Thy-Neighbor-Policy
yang artinya meningkatkan kesejahteraan domestik dengan memiskinkan tetangga,
yang sekarang terkenal dengan sebutan neo-merkantilisme. Kebijakan ini biasa
mengambil bentuk devaluasi mata uang asing, tarif, kuota, subsidi ekspor, dan
strategi lain yang dapat melemahkan perdagangan partner atau tetangganya.
Argumen-Argumen
Ekstrim Pro Proteksi
Sebutan
argument ekstrim—tanpa dasar yang kuat, dalam pandangan argumen ekstrim,
proteksi sangat kontroversial. Ada empat argumen yang mendukung proteksionisme
dilakukan oleh suatu negara. Berikut ini adalah argumen-argumen tersebut:
1.
Argumen
tenaga kerja murah.
Argumen
ini mengatakan bahwasannya proteksi terhadap sektor-sektor ekonomi dalam negeri
terhadap tekanan persaingan impor adalah bahwa pemberlakuan hambatan-hambatan
perdagangan merupakan suatu hal yang wajar dan diperlukan guna melindungi
tenaga kerja domestik dari tekanan persaingan produk impor yang menggunakan
tenaga kerja murah.
Namun, sekalipun tingkat upah domestik lebih tinggi dibandingkan
dengan tingkat upah di negara lain, biaya-biaya pemakaian tenaga kerja domestik
itu bisa saja dibuat lebih rendah asalkan produktivitasnya cukup tinggi.
Artinya, negara yang memiliki tenaga kerja murah
hendaknya dibiarkan melakukan spesialisasi produksi dan ekspor atas
komoditi-komoditi yang padat karya, dan untuk perekonomian yang mengandalkan
faktor produksi lain (missal modal) maka hendaknya berspesialisasi pula dalam
produksi dan ekspor komoditi-komoditi yang padat modal.
2.
Argumen
Tarif Ilmiah
Argumen
ini mengatakan bahwasannya proteksionisme patut diterapkan mengacu pada tariff
ilmiah (scientific tariff). Dimana
dikatakan tingkat tariff yang perlu diterapkan agar harga produk-produk impor
sama dengan harga-harga domestik, karena menurut argumen ini hal tersebut
memungkinkan para produsen domestik bersaing dengan produsen dari negara-negara
lain.
Namun, bila argumen ini dilakukan, maka selisih harga
internasional –yang menjadi landasan kerjasama perdagangan internasional- akan
berkurang bahkan akan menghilang, sehingga akan hilang pula hubungan ekonomi
antar negara tersebut dengan segala keuntungannya.
3.
Argumen
ketenagakerjaan
Argumen
ini mengatakan bahwa proteksi disuatu negara patut dilakukan untuk mengurangi
dan menghindari pengangguran domestk. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa
jika sebagian produk impor diganti dengan produk domestik, maka dengan
sendirinya devisa bisa terhemat dan tenaga kerja di negara bersangkutan bisa
terserap.
Namun, jika hal ini dilakukan maka tidak menutup kemungkinan
negara lain akan melakukan tindakan pembalasan karena negara tetangga merasa
dicurangi dan akan melakukan hal yang sama dengan negara yang melakukan
proteksi. Dan jika semua negara melakukan hal sama maka pada akhirnya semua
pihak akan mengalami kerugian dengan hilangnya hubungan perdagangan diantara
mereka.
4.
Argumen
neraca pembayaran
Menurut
argumen ini proteksi perlu dilakukan demi mengatasi defisit neraca pembayaran
suatu negara—yakni kelebihan pembayaran suatu negara kepada pihak luar negeri
dari penerimaannya dari pihak luar negeri.
Namun, jika suatu negara memberlakukan proteksi dan melenyapkan
defisit yang melilit neraca pembayaran, maka tindakan ini lambat laun akan
dibalas atau ditiru oleh negara-negara lain sehingga pada akhirnya angka
defisit neraca pembayarannya akan semakin besar.
Artinya, jika negara lain tidak melakukan hal
sama maka mereka akan menanggung risiko yang ditimbulkan oleh pihak pertama
secara sepihak. Jika arus ekspor mereka ke suatu negara asing dibatasi, maka
dengan sendirinya mereka akan mengalami penurunan pemasukan devisa dan
pengusaha ekspor akan dengan terpaksa gulung tikar sehingga akibatnya akan
terjadi peningkatan pengguran di negara-negara bersangkutan.
Argumen
Industri Bayi (Infant Industri)
Pada
dasarnya argumen industri bayi ini menyatakan bahwa proteksi perlu dilakukan
dalam rangka melindungi industri-industri domestik yang masih bayi atau baru
tumbuh, yang jika tidak diberi proteksi maka akan langsung terlindas oleh
tekanan kompetisi produk-produk impor.
Menurut
pandangan ini, sebuah negara industri yang masih bayi memiliki potensi keuntungan
komparatif dalam komoditi tertentu, namun karena terbatasnya teknologi dan
tingkat output pertamanya, negara industri bayi ini sulit berkembang sebab
sudah berus bersaing dengan industri yanh sudah jauh lebih mapan. Oleh karena
itulah argumen ini mengatakan bahwa perlu menggunakan proteksi perdagangan
secara temporer, demi membangun dan mengembangkan industri yang masih kecil dan
rapuh menjadi industri yang mapan dan mampu bersaing.
Namun
argumen ini memiliki kelemahan tersendiri. Agar sektor industri domestik
tersebut dapat mapan dan mamu bersaing dengan produsen-produsen asing, maka
sejak awal ia harus memiliki tingkat keuntungan yang relative besar dan untuk
itu ia harus memasang harga yang cukup tinggi bagi para konsumen domestik.
Namun dalam kenyataannya justru menjadi manja dan tidak terdorong untuk segera
memperbaiki diri.
Argumen
ini sendiri juga baru bisa dikatakan layak secara ilmiah jika dapat memenuhi
beberapa persyaratan penting. Adapun hal-hal penting yang harus diperhatikan
berkenaan dengan validitas argumen ini adalah:
1.
Keberlakukan
argumen nampaknya lebih cocok dengan negara-negara berkembang, ketimbang negara-negara maju.
2.
Pemerintah
seringkali mengalami kesulitan dalam mengidentifikasikan sektor-sektor industri
domestik yang paling berpotensial dan perlu diberi keistimewaan proteksi
tersebut.
3.
Apa
yang bisa dilakukan oleh suatu proteksi perdagangan, maka subsidi produksi ang
setara bagi sektor industri bayi itu dapat melakukannya secara lebih baik.
Kebijakan
Perdagangan Strategis
Pada
dasarnya argumen ini mendukung pemberlakuan tarif. Argumen ini tergolong kuat
karena didasarkan pada kaidah-kaidah ilmu ekonomi yang jelas. Bahkan bisa
dikatakan kebijakan perfagangan strategis ini merupakan jalan tengah untuk
memadukan kekuatan perdagangan bebas dan daya tarik proteksionisme. Menurut argumen
ini, sebuah negara dapat menciptakan keuntungan komparatif dalam bidang industri-industri
berteknologi tinggi yang paling berpotensi menjadi andalan perekonomian secara
keseluruhan dimasa mendatang.
Sasaran
argumen ini mirip dengan tujuan dari argumen industri bayi namun perbedaan yang
paling mencolok adalah jika argumen industri bayi cocok diterapkan dalam
perekonomian yang masih bayi maka argumen perdagangan strategis lebih cocok
untuk negara-negara maju yang sudah memiliki kapabilitas dalam mengembangkan sektor-sektor
industri berteknologi tinggi.
Kemudian selain daripada itu, para ekonom
berpendapat bahwa kemajuan luar biasa dalam bidang industri dan teknologi yang
diraih Jepang seusai PDII terutama karen kebijakan-kebijakan industri dan
perdagangan strategisnya. Dalam beberapa waktu para ekonom menemukan bahwa ada
dua penyebab kegagalan pasar, yaitu:
1.
Ketidakmampuan
perusahaan-perusahaan didalam industri-industri berteknologi tinggi untuk
menerima keuntungan yang menjadi hak mereka atas sumbangannya kepada
pengetahuan produksi yang kemudian juga mengalir ke perusahaan-perusahaan lain, dan
2.
Berkembanya
keuntungan monopoli di industri-industri yang bersifat oligopolistik serta
sangat terkonsenterasi.
Sehingga memang beralasan jika negara
sector industri berteknologi tinggi yang bertumpu pada investasi dari kedua
diatas merupakan bagian utama dari kegiatan usahanya.
Persoalan bagi kebijakan industri adalah,
meskipun perusahaan-perusahaan pelopor teknologi tinggi memang selalu dapat
mengambil keuntungan dari investasi dalam ilmu pengetahuan mereka, mereka
biasanya tidak akan dapat menikmati seluruh keuntungan yang dibuahkan oleh
teknologi baru yang mereka upayakan. Selanjutnya, sekalipun perusahaan-perusahaan
yang aktif berkecimpung dalamindustri-industri berteknologi tinggi dapat
membuktikan betapa besarnya eksternalitas yang harus mereka pikul, tetap saja
insentif bagi suatu negara untuk menyokong industri-industri ini adalah relatif
kecil. Persoalan-persoalan ini tidak luput keduanya karena industri-industri
lain yang meniru gagasan-gagasan atau tekhnik-tekhnik baru itu.
Untuk menjawab hal itu, seorang ekonomi
bernama Barbara Spencer dan James Brander, menempatkan kegagalan pasar sebagai
alasan baku yang membenarkan campur tangan oleh pemerintah jika kondisi persaingan
sempurna yang ideal tidak terpenuhi. Mereka menegaskan bahwa hanya sedikit
perusahaan yang bersaing secara efektif sehingga asumsi-asumsi persaingan
sempurna tidak terpenuhi. Dalam kondisi seperti ini, mudah sekali tercipta
imbalan yang berlebihan disektor ekonomi yang bersangkutan. Yang artinya,
perusahaan-perusahaan di sector industri tersebut akan meraih keuntungan lebih
besar dari tingkat keuntungan yang dicapai oleh investasi beriko lainnya.
Spencer dan Brander menyatakan bahwa,
dalam hal ini, pemerintah berperan penting untuk melakukan campur tangan untuk
mengubah aturan mainnya, demi mengalihkan imbalan yang berlebih tersebutdari
perusahaan asing ke perusahaan domestik.
Secara
teoritis kebijakan perdagangan strategis dapat memperbaiki mekanisme pasar dan
hasil-hasilnya, memperbesar ekonomi eksternal dan meningkatkan pertumbuhan dan
kesejahteraan di suatu negara. Namun para pencipta dan pendukung pun mengakui
bahwa adanya kesulitan-kesulitan yang terkandung didalamnya, yakni:
1.
Dalam
kenyataannya sangat sulit untuk memilih sector-sektor industri yang paling
berpotensi guna menjadi andalan.
2.
Karena
sebagian besar negara industri majau terkemuka menerapkan kebijakan-kebijakan
perdagangan strategis dalam waktu bersamaan, maka dampaknya akan ternetralisir
dan pada akhirnya keuntungan menjadi kecil.
3.
Jika
negara sudah mencapai keberhasilan dari penerapan kebijakan perdagagnan
strategisnya, maka keberhasilannya itu hanya tercipta atas pengorbanan atau
kerugian negara lain, dan selanjutnya mereka pasti akan mengadakan tindakan
pembalasan.
Siapa
Yang Memperoleh Proteksi?
Para
ekomom telah mengembangkan teori-teori khusus berkenaan dengan
kelompok-kelompok dan sector-sektor industri tertentu yang mendapatkan
keistimewaan proteksi. Di negara-negara industri pada umumnya proteksi
cenderung diberikan kepada sector-sektor industri yang menyerap tenaga kerja
banyak, khususnya tenaga kerja non-terampil berupah rendah yang akan sulit
menemukan pekerjaan lain seandainya
mereka kehilangan pekerjaan yang sudah ada.
Namun
disisi lain ada kelompok mengajukan rumusan yang berbeda yaitu yang disebut
dengan teori kelompok penekan. Teori tersebut mengatakan bahwa dalam
kenyataannya yang paling banyak menerima proteksi bukanlah industri dengan
banyak penyerapan tenaga kerja melainkan insdustri-industri teroganisir serta
memiliki tradisi politik yang cukup kuat.
Dalam
teori lain juga mengemukakan bahwa industri
yang patut mendapatkan proteksi adalah industri yang dapat menghasilkan banyak
produk konsumen, bukan industri yang hanya menghasilkan produk-produk setengah
jadi yang digunakan sebagai input industri lainnya. Alasannya adalag industri
penghasil produksi setengah jadi itu memang tidak terlalu memerlukan proteksi
karena mereka sendiri sudah memiliki kekuatan dan daya protek internal.
Namun, lebih jauh tampaknya proteksi
lebih banyak diberikan kepada industri-industri yang satu sama lain secara
geografis terpencar namun menyerap banyak tenaga kerja ketimbang industri-industri
yang terpusat dikawasan yang sama dan menyerap relative sedikit tenaga kerja.
Ini jelas terlihat bahwa pemerintah akan memberikan proteksi kepada industri
yang semakin banyak penyerapan tenaga kerjanya.
Teori
lain mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan perdagangan yanga ada biasanya
menjurus pada usaha pemeliharaan status-quo.
Artinya, sebuah industri mendapatkan proteksi biasanya sudah pernah menikmati
proteksi sama dalam masa-masa sebelumnya. Dapat disimpulkan bahwa industri yang
pernah mendapatkan proteksi maka akan cenderung untuk mempertahankannya.
Yang
terakhir, proteksi akan mudah didapatkan oleh industri-industri yang bersaing
dengan produk yang berasal dari negara-negara berkembang. Karena pada umumnya
tidak memiliki kekuatan ekonomi dan politik sebesar yang dimiliki negara-
negara industri maju yang dalam kenyataannya memang lebih berhasil membendung
restriksi perdagangan terhadap ekspor mereka.
Daftar Pustaka
Krugman. Paul, R. dan
Maurice Obstfeld, 1994, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakannya, Edisi Ke-2. PT Grafindo Persada: Jakarta.
Salvatore, Dominick,
2004, Ekonomi Internasional, Edisi Ke-5.
Drs. Haris Munandar, Penerbit Erlangga: Jakarta.
Gusti Pares
Jurusan Akuntansi UNSRI
01111003037