Gejolak – Gejolak Ketahanan
Nasional
(Oleh : Gusti Pares )
Fakultas Ekonomi dan Bisnis/Akuntansi UNSRI 2011
Indralaya
A.
Gejolak dari Luar
1.
Agresi Militer Belanda I
"Operatie Product" (bahasa Indonesia : Operasi Produk) atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agres Militer Belanda I adalah
operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947[1].
Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil[2] yang diberlakukan
Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap
merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggajati.
Latar Belakang Agresi
Militer I
Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut
daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam,
terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia
internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai
urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook
menyampaikan pidato radio dimana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi
terikat dengan Persetujuan Linggajati.
SOLUSI KETAHANAN
INDONESIA
Campur Tangan PBB
Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian
Internasional, yaitu Persetujuan
Linggajati.
Kemudian Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi
keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui
penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi
militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian
mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan
agar konflik bersenjata dihentikan.
Setelah itu, Dewan Keamanan PBB de facto mengakui
eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak
tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA,
dan bukan Netherlands Indies.
Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian
resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1
November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan
PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan
menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Hasilnya, Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk
melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan
Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara
Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for
Indonesia (Komite Jasa Baik
Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena
beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh
Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili
oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.
2.
Agresi Militer Belanda II
Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali
dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir ,dan beberapa tokoh
lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin
Prawiranegara.
Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka
menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta.
Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa
pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga
kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.
SERANGAN MAGUWO
Serangan Maguwo belanda ke bandar udara Maguwo,
pagi hari tanggal 19 Desember 1948 dianggap sebagai serangan perdana pada
Agresi Militer Belanda II, hal ini dilatar belakangi oleh WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa
Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville[3].
Isi Perjanjian Renville :
a.
Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
b.
Disetujuinya sebuah garis
demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
c.
TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah
kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta.
Penyerangan tersebut, diawali dengan pemboman atas
lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo
dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang
pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu
beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam
keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI
bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST
Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25
menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout.
Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak
satu pun jatuh korban.
Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST
telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M
sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T-
beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah
terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.
Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan
pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di
Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah
dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari. Segera setelah mendengar berita
bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar Soedirmanmengeluarkan perintah kilat yang
dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.
Berikut Secara Ringkas Pelaksanaan Agresi Militer Belanda I[4]
a. Pada tanggal 19
Desember 1948 Belanda melakukan serangan terhadap kota Yogyakarta.
b. Tepatnya pada
pukul 05.30 Belanda melakukan aksi membom pangkalan udara Maguwoharjo (Lapangan
Udara Adisucipto) yang dilanjutkan dengan menghancurkan bangunan-bangunan
penting dan akhirnya merambat ke pusat kota Yogyakarta dan berhasil
menguasainya.
c. Belanda berhasil
menawan presiden Soekarno, wakil presiden Moh Hatta, Syahrir (penasehat
presiden),H. Agus Salim (Menlu).
d. Sebelum ditawan
presiden berhasil mengirimkan surat pemberian kekuasaan kepada Menetri
Kemakmuran Syafruddin (Syarifuddin) Prawironegoro untuk membentuk Pemerintahan
Darurat RI (PDRI) di Sumatera. Jika Syarifuddin tidak dapat menjalankan
tugasnya maka presiden memerintahkan kepada Sudarsono, L.N. Palar, dan A.A
Maramis yang ada di New Delhi untuk membentuk pemerintahan RI di India.
e. Belanda akhirnya
menguasai Yogyakarta dan TNI berhasil dipukul mundur hingga ke desa-desa.
f. Belanda menganggap
TNI telah kalah tetapi ternyata TNI dapat tetap mengumpulkan kekuatan untuk
melawan Belanda.
g. Sementara Belanda
menyiarkan kabar ke seluruh dunia bahwa TNI sudah lemah dan RI sudah tidak ada
lagi.
h. Belanda melakukan
sensor pers agar berita tersebut tidak tersiar keluar. Tetapi ternyata dari
radio gerilya Indonesia dapat disiarkan berita perlawanan rakyat hingga ke luar
negari.
i.
Akhirnya setelah 1 bulan dari agresi tersebut TNI mulai
melakukan gerakan menyerang kota-kota. Serangan yang terkenal adalah Serangan
Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta yang dipimpin oleh Letnan Kolonel
Soeharto, dan berhasil menduduki kota Yogyakarta.
j.
Hal tersebut membuktikan kepada dunia bahwa TNI tidak hancur
mereka masih mempunyai kemampuan bahkan mampu menyerang Belanda. Sehingga
Belanda akhirnya mau membicarakan dalam meja perundingan.
TUJUAN AGRESI
MILITER BELANDA II
Belanda ingin menujukkan kepada dunia bahwa pemerintah
Republik Indonesia dan TNI secara de facto tidak ada lagi.
Tindakan
perjuangan secara diplomatik yang dilakukan untuk menggagalkan tujuan Belanda,
yaitu :
a. Menunjukkan kepada
dunia internasional bahwa Agresi Militer Belanda II merupakan tindakan
melanggar perjanjian damai (hasil Perundingan Renville)
b. Meyakinkan dunia
bahwa Indonesia cinta damai, terbukti dengan sikap menaati hasil Perundingan
Renville dan penghargaan terhadap KTN.
c. Membuktikan bahwa
Republik Indonesia masih ada. Hal ini ditunjukkan dengan eksistensi PDRI dan
keberhasilan TNI menguasai Yogyakarta selama enam jam pada Serangan Umum 1
Maret 1949.
Kemudian upaya Indonesia menarik simpati Amerika serikat
hingga akhirnya mendesak Belanda untuk menarik mundur pasukannya dari wilayah
Indonesia. Selanjutnya juga Dewan Keamanan PBB juga mendesak Belanda untuk
menghentikan operasi militer dan membebaskan para pemimpin Indonesia. Pada
akhirnya, desakan tersebut membuat Belanda mengakhiri agresi militer II.
B. Gejolak dari Dalam
Negara Islam
Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah "Rumah
Islam" adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis
sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah)
oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa
Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat[5].
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik
Indonesia yang
saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada
masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar
negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam
Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya
dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" daahaij,das msknsajnfkjands ini punya gusti pares n "Hukum yang
tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi
Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat
undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang
keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut
dengan "hukum kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5.
Al-Maidah, ayat 50.
Adapun pemberontakan DII dan TII ini
terbagi menjadi empat wilayah, yakni :
a. DI/TII Jawa Barat
Sekar Marijan Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam (DI)
dengan tujuan menentang penjajah Belanda di Indonesia. Akan tetapi, setelah
makin kuat, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia
(NII) pada tanggal 17 Agustus 1949 dan tentaranya dinamakan Tentara Islam
Indonesia (TII). Upaya penumpasan dengan operasi militer yang disebut Operasi
Bharatayuda. Dengan taktis Pagar Betis. Pada tanggal 4 juni 1962, Kartosuwiryo
berhasil ditanggap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa
Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati 16 Agustus 1962.
b. DI/TII Jawa Tengah
Gerakan DI/TII juga menyebar ke Jawa Tengah, Aceh, dan
Sulawesi Selatan. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah
di bagian utara, yang bergerak di daerah Tegal, Brebes dan Pekalongan. Setelah
bergabung dengan Kartosuwiryo, Amir Fatah kemudian diangkat sebagai komandan
pertemburan Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia.
Untuk menghancurkan gerakan ini, Januari 1950 dibentuk Komando Gerakan Banteng
Negara (GBN) dibawah Letkol Sarbini. Pemberontakan di Kebumen dilancarkan oleh
Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahfudz Abdulrachman
(Romo Pusat atau Kiai Sumolanggu) Gerakan ini berhasil dihancurkan pada tahun
1957 dengan operasi militer yang disebut jangan dibajak murni, gusti pares, Operasi Gerakan Banteng Nasional dari
Divisi Diponegoro. Gerakan DI/TII itu pernah menjadi kuat karena pemberontakan
Batalion 426 di Kedu dan Magelang/ Divisi Diponegoro. Didaerah Merapi-Merbabu
juga telah terjadi kerusuhan-kerusuhan yang dilancarkan oleh Gerakan oleh
Gerakan Merapi-Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini juga dapat dihancurkan. Untuk
menumpas gerakan DI/TII di daerah Gerakan Banteng Nasional dilancarkan operasi
Banteng Raiders.
c. DI/TII Aceh
Adanya berbagai masalah antara lain masalah otonomi
daerah, pertentangan antargolongan, serta rehabilitasi dan modernisasi daerah
yang tidak lancar menjadi penyebab meletusnya pemberontakan DI/TII di Aceh.
Gerakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh yang pada tanggal 20
September 1953 memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam
Indonesia dibawah pimpinan Kartosuwiryo. Pemberontakan DI/TII di Aceh
diselesaikan dengan kombonasi operasi militer dan musyawarah. Hasil nyata dari
musyawarah tersebut ialah pulihnya kembali keamanan di daerah Aceh.
d. DI/TII Sulawesi Selatan
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya
Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar
Muzakar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya
lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah
pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak diantara mereka yang tidak
memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan
menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat
dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakar
beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan
lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakar mengubah nama pasukannya
menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII
Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar
Muzakar tertembak mati oleh pasukan TNI.
Belanda
datang kembali ke Indonesia melalui misi Sekutu yang ingin melucuti senjata dan
memulangkan para interniran. Belanda Ingin menegakkkan kekuasaannya kembali di
Indonesia. Akibatnya, dibeberapa daerah pada awal kemerdekaan terjadi gejolak
sosial yang mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pihak Indonesia dan
Jepang serta Belanda yang membonceng Sekutu. Melihat posisi Jepang yang condong
pada Sekutu, para pemuda yang bergabung dalam BKR betekad melucuti senjata dan
mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang.
Bangsa
Indonesia dengan sekuat tenaga melakukan perlawanan guna tetap menegakkkan
kemerdekaan kedaulatan Negara Republik Indonesia. Musuh dari luar yang dihadapi
bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan adalah pasukan Jepang dan
Sekutu. Untuk menghimpun kekuuatan maka para pemuda segera membentuk
badan-badan perjuangan. Tekad perjuangan kaum muda diasalurkan melaui Komite
Van Aksi. Van Aksi mempelopori pengambilalihan kekuasaan dan pelucutan senjata
sehingga terjadi pertempuran-pertempuran sengit antara pemuda Indonesia dan
Jepang di berbagai daerah berikut ini :
1.
Jakarta
Pada tanggal 19 September 1945 di Jakrta berlangsung
rapat umum di Lapangan Ikada dalam rangka unjuk rasa semangat kemerdekaan.
Rapat tersebut mendapi ancaman dari tentara Jepang. Akibatnya sikap antipati
yang ditunjukan Jepang beberapa hari kemudian para pejuang BKR dan pemuda
menyerbu gudang senjata Jepang di Cilandak.
2.
Bandung
Para pemuda dan kaum buruh mengadakan perampasan
senjarta baik digudang maupun pabrik senjata di Lapangan Terbang Andir.
Disamping itu, para pelajar dan pemuda mantan Peta mberhasil melucuti senjata
pasukan panser Jepang.
3.
Surabaya
Rakyat dipelopori BKR merebut komplek penyimpangan
senjata Jepang dan pemancar radio di Embong Malang.
4.
Semarang (Pertempuran 5 Hari Di Semarang)
Pada tanggal 15-20 Oktober 1945 terjadi pertempuran
antara pejuang Indonesia dan Jepang yang dikenal dengan peristiwa Pertempuran
Lima Hari di Semarang. Peristiwa ini diawali dengan adanya desas-desus bahwa
Jepang telah meracuni cadangan air minum penduduk di Candi. Untuk membuktikan
kebenaran desas-desus tersebut. Dr. Karyadi sebagai Kepala Laboratorium Pusat
Rumah Sakit Semarang melakukan pemeriksaan. Pada saat sedang memeriksa sumber
air tersebut, dr. Karyadi ditembak Jepang. Gugurnya dr,. Karyadi menimbulakn
kemarahan penduduk Semarang sehingga terjadi pertempuran. Pertempuran ini
banyak menimbulakn korban jiwa di kedua belah pihak. Dipihak semarang sekitar
2.000 orang gugur dan dari pihak Jepang 100 orang tentaranya juga tewas. Untuk
mengenang peristiwa di Semarang didirikan Monumen Tugu Muda Semarang itu, untuk
mengenang jasa dr. Karyadi, namanya diabadikan menjadi nama sebuah rumah sakit
umum di Semarang.
5.
Aceh
Di Aceh, setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia para
pemuda berhasil merebut beberapa kota, diantaranya adalah Bireun. Jepang
bermaksud merebut kota itu kemudian kembali mengerahkan pasukan dari
Lhokseumawe, tetapi para pemuda berhasil mencegatnya di Krueng Panjoe.
Pertempuran itu berlangsung sengit yang mengakibatkan 28 orang Jepang tewas dan
senjata mereka dirampas (24 November 1945).
6.
Surakarta
Markas Kampetai di Surakarta dikepung oleh rakyat.
Pertempuran sengit pun terjadi. Seorang pemuda bernama Arifin gugur. Untuk
mengenang jasa Arifin di abadikan menjadi nama sebuah Jembatan di Surakarta.
C.
Semi dari Dalam dan Luar
Dikatakan
semi dari dalam dan luar, karena gejolak ini merupakan bentuk gabungan pengaruh
dari dalam dan luar negeri.
5.
Organisasi Papua Merdeka
Organisasi
Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah gerakan nasionalis yang didirikan tahun 1965 yang
bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan Papua bagian barat dari pemerintahan
Indonesia. Sebelum era reformasi, provinsi yang sekarang terdiri atas Papua dan
Papua Barat ini dipanggil dengan nama Irian Jaya.
Bendera Organisasi Papua Merdeka OPM
merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah dengan bagian Indonesia
yang lain maupun negara-negara Asia lainnya. Penyatuan wilayah ini ke dalam
NKRI sejak tahun 1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia
dimana pihak Belanda menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya
kepada bekas jajahannya yang merdeka, Indonesia. Perjanjian tersebut oleh OPM
dianggap sebagai penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain.
Pada tanggal 1 Juli 1971, Nicolaas Jouwe
dan dua komandan OPM yang lain, Seth Jafeth Raemkorem dan Jacob Hendrik Prai
menaikkan bendera Bintang Fajar dan memproklamasikan berdirinya Republik Papua
Barat. Namun republik ini berumur pendek karena segera ditumpas oleh militer
Indonesia dibawah perintah Presiden Soeharto.
6.
Republik Maluku Selatan
Republik Maluku
Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka
pada 25 April 1950 dengan maksud untuk
memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik
Indonesia Serikat). Namun
oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi
damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966 RMS
berfungsi sebagai pemerintahan terror di pengasingan, Belanda[6].
Pemimpin
RMS[7]
Pemerintah RMS
yang pertama dibawah pimpinan dari J.H. Manuhutu, Kepala Daerah Maluku dalam
Negara Indonesia Timur (NIT).
Setelah Mr. dr.
Chris Soumokil(Mantan Jaksa Agung NIT yang merupakan anjing Belanda) dibunuh
secara illegal atas perintah Pemerintah Indonesia, maka dibentuk Pemerintah
dalam pengasingan di Belanda dibawah pimpinan Ir. [Johan Alvarez Manusama],
pemimpin kedua [drs. Frans Tutuhatunewa] turun pada tanggal 24 april 2009. Kini
mr. John Wattilete adalah pemimpin RMS pengasingan di Belanda.
Tagal serangan dan
anneksasi illegal oleh tentara RI, maka Pemerintah RMS - diantaranya Mr. Dr. Soumokil, terpaksa mundur ke Pulau Seramdan memimpin guerilla di pedalaman Nusa
Ina (pulau Seram). Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962, dijatuhi hukuman mati olehpengadilan militer, dan dilaksanakan
di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.
Kerusuhan RMS
Dalam bulan
september 2011 Jendral Kivlan Zen purn. mengaku dalam wawancara dengan Global
Post bahwa KERUSUHAN AMBON sebenarnya REKAYASA dari para elit RMS dan Pendukung
RMS di Belanda. mereka membuat skenario seolah-olah TNI dan Pemerintah Republik
Indonesia telah lakukan mendestabilisasi Maluku secara politik dan ekonomis.
Dalam skenario ini dibuat seolah-olah RMS dipersalahkan dengan sengaja dan
kambinghitamkan. Mereka memakai kalimat-kalimat seperti:
"Pada saat Kerusuhan Ambon yang terjadi
antara 1999-2004, RMS kembali
mencoba memakai kesempatan untuk menggalang dukungan dengan upaya-upaya
provokasi, dan bertindak dengan mengatas-namakan rakyat Maluku. padahal
ditemukan banyak sekali bukti kalau RMS terlibat dalam kerusuhan Maluku dan
upaya Genosida Umat Islam di Maluku oleh Orang Kristen & RMS. Beberapa
aktivis RMS telah membuat pengakuan palsu dan bohong kalau mereka telah
ditangkap dan diadili atas tuduhan kegiatan-kegiatan teror yang dilakukan dalam
masa itu, walaupun sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi mengenai sebab
dan aktor dibalik kerusuhan Ambon.", padahal Jendral Kivlan Zen sendiri
sekarang mengaku secara terbuka bahwa itu semua permainan elit politik RMS dan
Pendukung RMS di Belanda dengan sokongan penuh anggota parlemen Belanda. RMS
dibuat skenario sehingga Umat Kristen seperti sengaja dikambinghitamkan,
sehingga merasa tidak pernah bersalah.
Pada tanggal 29
Juni 2007, beberapa elemen aktivis RMS berhasil menyusup masuk ke tengah
upacara Hari Keluarga Nasional yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, para pejabat dan tamu asing. Mereka menari tarian Cakalele seusai
Gubernur Maluku menyampaikan sambutan. Para hadirin mengira tarian itu bagian
dari upacara meskipun sebenarnya tidak ada dalam jadwal. Mulanya aparat
membiarkan saja aksi ini, namun tiba-tiba para penari itu mengibarkan bendera
RMS. Barulah aparat keamanan tersadar dan mengusir para penari keluar arena. Di
luar arena para penari itu ditangkapi, tetapi pernah disiksa dan dianiaya.
namun kemudian RMS dan Pendukung yang mayoritas orang Kristen di Maluku membuat
berita bohong seolah-olah Penari Cakalele tersebut Dipukul sampai babak belur
oleh DENSUS 88 atas perintah Presiden SBY sendiri. Sebagian yang mencoba
melarikan diri dipukuli untuk dilumpuhkan oleh aparat tetapi tidak pernah
terbukti beritya ini. Pada saat ini (30 Juni 2007) insiden ini sedang
diselidiki.
banyak berita
palsu yang disebarkan oleh gerombolan RMS & OPM yang sangat pro Belanda
bahwa TAPOL yang terbanyak di Indonesia pada saat ini terdapat di Maluku dan
Papua. Hal ini menoda wajah NKRI sebagai demokrasi, sebab di negara-negara
demokratis lain-lain didunia orang tidak dijatuhkan hukuman 15 tahun penjara
hanya menaikkan lambang negara yang terlarang. padahal dinegara manapun jika
ada anggota gerakan separatis mencoba mengibarkan lambang gerakan separatis
tersebut pasti akan ditindak keras seperti di New Kaledonia dan Tahiti. di
Belanda sendiri RMS dan OPM tidaklah lebih daripada kelompok Terroris dan
pengacau Bodoh.
7. PKI-G30SPKI
Gerakan 30 September atau yang
sering disingkat G30SPKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu
Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di
mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta
beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang
kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Latar Belakang
Partai Komunis
Indonesia (PKI)
adalah partai politik di Indonesia yang berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha
melakukan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948,
serta dituduh membunuh 6 jenderal TNI AD di Jakarta pada tanggal 30 September
1965 yang di kenal dengan peristiwa G30S/PKI.
Sebelum
Revolusi Indonesia
Gerakan Awal PKI
Partai ini
didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda).
Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai
sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai
Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda[8].
Pada Oktober 101
SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije
Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.
Pada saat
pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV
mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang
yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat
berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet
partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang
menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk
partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.
Pada 1917 ISDV
mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara
Merdeka".
Di bawah
kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti
Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara
dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah
"Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai
3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di
Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan
membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di
Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk
Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi
hukuman penjara hingga 40 tahun.
ISDV terus
melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi
ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa,
ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini
pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang
Indonesia.
Pembentukan
Partai Komunis
Pada awalnya PKI
adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin
parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakartamembuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang
anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan
tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan
keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres
ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis
di Hindia. Semaoen diangkat sebagai
ketua partai.
PKH adalah partai
komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis
Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis
Internasional pada 1920.
Pada 1924 nama partai ini
sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pemberontakan
1926
Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial.
Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang,
umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua [2]. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik
non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan
menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI
kemudian bergerak di bawah tanah.
Rencana pemberontakan itu sendiri
sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan rahasia aktivis PKI di
Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di
Sumatra. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral
perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.
Pada masa awal pelarangan ini,
PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya
yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawh tanah. Namun Moeso
hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai front,
seperti misalnyaGerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara
mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam kontrol PKI.
Peristiwa
Madiun 1948
Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesia dan pendudukan Belanda melakukan
perundingan yang dikenal sebagai Perundingan
Renville. Hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi
Belanda. Sebaliknya,RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit
wilayah yang dimiliki.Oleh karena itu, kabinet Amir
Syarifuddin diaggap merugikan
bangsa, kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa menyerahkan mandatnya kepada presiden dan
digantikan kabinet Hatta.
Selanjutnya Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948. Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai
oposisi terhadap pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan.
Beberapa aksi yang
dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan propaganda
antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan
membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat.
Sejalan dengan
peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak lama
berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir
Syarifuddin untuk menentang pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk
pimpinan PKI. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror,
mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI dan
menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah
pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur. Tujuan pemberontakan itu adalah
meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini
beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang
dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat rakyat
marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang
menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima Besar Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur
untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30 September 1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak mati sedangkan
Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Bangkit
kembali
Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan
organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai
nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti
kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan
kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia
lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari
sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan bahkan 1,5
juta pada 1959 [4]
Pada Agustus 1951,
PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan
tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali
bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.
Pemilu
1955
Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat dengan
16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang
diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.
Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam
pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada September 1957, Masjumisecara terbuka menuntut supaya PKI
dilarang[9].
Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada
di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda.
Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki
oleh asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri
sebagai sebuah partai nasional.
Pada Februari 1958 terjadi sebuah
upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang mulai condong ke timur di
kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar pemerintah
pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi
yang tidak merata antara pusar dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis
di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di
wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya
Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang
Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.
Pada 1959, militer berusaha
menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres ini
berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin
pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang merupakan
singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai
mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi
konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang
multi-kelas.
Dengan
berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa,
seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga
Kebudajaan Rakjat (Lekra) danHimpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan
organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima
dari seluruh rakyat Indonesia.
Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit
dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI
menyelenggarakan kongres partainya. Pada1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam
pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan
sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak
gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan
menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan
pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai
Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun demikian kebanyakan dari
mereka ditangkap begitu tiba.
Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan "tentaranya".
Gerakan 30
September
Alasan utama
tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai suatu upaya pada melawan apa yang
disebut "rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat terhadap
PresidenSukarno“.[April 2010]
Aktivitas PKI
dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin
agresif. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang
sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut "kapitalis birokrat“[April 2010] terutama yang bercokol di perusahaan-perusahaan
negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak menepati waktunya sehingga
melahirkan "Aksi Sepihak“ dan istilah "7 setan desa“[April 2010], serta serangan-serangan terhadap
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada
"kepemimpinan“-nya dan mengabaikan "demokrasi“-nya[April 2010], adalah pertanda meningkatnya rasa
superioritas PKI[April 2010], sesuai dengan statementnya yang
menganggap bahwa secara politik, PKI merasa telah berdominasi.[April 2010] Anggapan bahwa partai ini berdominasi,pada akhirnya
tidak lebih dari satu ilusi.[April 2010]
Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik
dikendalikan oleh sebuah Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas
di rumah sersan (U)Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim.
Sedang operasi militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan
SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan
operasi dikendalikan dari gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi
AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah
Letkol. Untung Samsuri.
Menurut
keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih
semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah,
hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan
akan mengalami kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan
sesuai dengan rencana, maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan
ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan
bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa
ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan
selanjutnya.
Antara kebenaran
dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi narasi atas
Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran bagaikan pendulum
yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga membingungkan
masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah peristiwa terjadi.
Tetapi perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal segera setelah terjadinya
peristiwa.
Di tingkat
internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina), Xinhua, memberikan
versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat
Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya
percobaan kudeta oleh PKI.[April 2010]
Presiden Soekarno
pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa
sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang keblinger dan
terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan, dan karena
itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah
perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam
penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD pada
tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera
diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang
pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada
tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan
telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman, melebihi peristiwa
sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal
menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang
hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui batas
yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga
tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.
Setelah
berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah
bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI
yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu
memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam
batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat
dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisan
versi penguasa sebelum reformasi banyak dikecam karena di sana sini mengandung
unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan
muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama yang bertujuan untuk memberi
posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata.
Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa
sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan.
Terdapat sejumlah
nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat dan
arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa
politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30
September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu
peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik
dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha
merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan
sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata, ada
dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam rangka pertarungan kekuasaan
sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang perlu lebih diperjelas
duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk lebih mendekati kebenaran
sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh dihentikan. Bahwa dalam
proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik politik maupun konflik
sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom 1959-1965, terjadi
malapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan
anggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses
telah dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala.
8. Tragedi Lampung
Tragedi Lampung
adalah suatu tragedi yang tidak ada proses penyelesaian. Tragedi ini disebabkan
karena sengketa lahan. Tragedi lampung banyak mengandung kontroversial nasional. Mulai dari tragedi
mesuji, tragedi Lampung Berdarah yang terjadi pada tahun 1989, di Dusun Talang
Sari III, Desa Raja Basa[10],dll.
Tragedi
Lampung ini, biasanya disebabkan karena sengketa lahan.
D.
Murni
di Dalam dan di Luar
9.
Gerakan
Aceh Merdeka
Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM adalah
sebuah organisasi (yang dianggap separatis)
yang memiliki tujuan supaya Aceh, yang merupakan daerah yang sempat berganti
nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam lepas
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Konflik antara pemerintah RI dan GAM yang diakibatkan perbedaan keinginan ini
telah berlangsung sejak tahun 1976 dan
menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal
dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front
(ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro selama hampir
tiga dekade bermukim di Swedia dan
berkewarganegaraan Swedia.lahir di desa Tiro, kabupaten Pidie, Aceh, 25
September 1925 – meninggal di Banda Aceh, 3 Juni 2010 pada umur 84 tahun)sehari
sebelum meninggal dia memperoleh status WNI oleh pemerintah Indonesi[11].
Garis Waktu GAM
Pada 27 Februari 2005, pihak GAM dan pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Mantan presiden Finlandia Marti Ahtisaariberperan sebagai fasilitator.
Pada 17 Juli 2005, setelah perundingan selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil mencapai
kesepakatan damai dengan GAM di Vantaa,Helsinki, Finlandia. Penandatanganan nota kesepakatan damai dilangsungkan
pada 15 Agustus 2005. Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh sebuah tim
yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa
negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Di antara poin pentingnya adalah bahwa pemerintah
Indonesia akan turut memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi anggota GAM.
Meski, perdamaian
tersebut, sejatinya sampai sekarang masih menyisakan persoalan yang belum
menemukan jalan keluar. Misal saja berkait dengan Tapol/Napol Aceh yang masih
berada di penjara Cipinang, Jakarta seperti Ismuhadi, dkk. Selain juga
persoalan kesejahteraan mantan prajurit kombatan GAM yang cenderung hanya
dinikmati oleh segelintir elit.
Seluruh senjata
GAM yang mencapai 840 pucuk selesai diserahkan kepada AMM pada 19 Desember 2005. Kemudian pada 27 Desember, GAM melalui juru bicara militernya, Sofyan Daud, menyatakan bahwa sayap militer mereka telah dibubarkan
secara formal.
Catatan : GAM ini
murni dari dalam dan luar, artinya bentuk gejolak ini terbentuk dari dalam dan
pengaruh luar NKRI.
[2] Aksi Polisionil adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang
dilaksanakan dari 21 Juli sampai 5 Agustus 1947 (aksi
pertama) dan dari 19 Desember 1948 sampai 5 Januari 1949 (aksi kedua).
[3] Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17
Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika
Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung
Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8
Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga
Negara (KTN), Committee of Good Offices for
Indonesia, yang terdiri dari Amerika
Serikat, Australia, dan Belgia.
1 komentar:
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
Post a Comment