Saturday, April 28, 2012

Riba dan Jenis - Jenisnya


Hukum riba
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila[1]. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah Menghalalkan jual beli dan Mengharamkan riba. Barangsiapa yang mendapat peringatan dari Tuhan-nya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya[2] dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa yang mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Q.S. al-Baqarah 2 : 275)

Berdasarkan dari ayat diatas, Allah telah terang-terangan mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli untuk umat-Nya.
Kemudian, berdasarkan ilmu fiqih, riba dikenal terdapat empat jenis riba, yaitu sebagai berikut :
1.        Riba Fadl
2.       Riba Nasi’ah
3.       Riba Jahiliyah
4.       Riba Qard

1.        Riba Fadl
Riba fadl disebut juga sebagai riba buyu’, yaitu riba yang timbulk akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran sejenis ini mengandung gharar, yaitu ketidakjelasan bagi kedua belah pihak akan masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain.
Berikut contoh mengenai riba fadl dengan ketidakjelasannya
Ketika kaum Yahudi kalah dalam perang Khabair, harta mereka diambil sebagai harta rampasan perang (ghanimah), termasuk diantaranya perhiasan yang berupa emas dan perak. Tentu saja perhiasan tersebut bukan gaya seorang muslimin dan muslimah yang sederhana. Oleh karena itu, orang Yahudi berusaha membeli perhiasannya yanng terbuat dari emas dan perak tersebut, yang akan dibayar dengan menggunakan uang yang terbuat dari emas (dinar) dan perak (dirham). Jadi apabila ditelaah hal ini bukan bentuk kegiatan jual beli melainkan pertukaran barang yang sejenis. Emas ditukarkan dengan emas dan perak juga sebaliknya.
Perhiasan perak yang beratnya setara dengan 40 dirham (satu uqiyah) dijual oleh kaum Muslimin kepada kaum Yahudi sehargha dua atau tiga dirham, padahal perhiasan tersebut dengan berat satu uqiyah dan jauh lebih daripada 2-3 dirham[3]. Jadi berdasarkan ilustrasi diatas dapat dikonklusikan bahwa mengalami ketidak jelasan (gharar) akan nilai perhiasan perak dan dirham.
Mendengar hal tersebut Rasulullah Saw. Bersabda:
Dari Abu Said al-Khudri ra, Rasul Saw. Bersabda; Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takarannya, timbangan, dan tangan ke tangan  (tunai), kelebihannya adalah riba; perak dengan perak harus sama takaran, timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; gandum dengan gandum harus sama takaran, timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; tepung dengan tepung harus sama takaran, timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; korma dengan korma harus sama takaran, timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; garam dengan garam harus sama takaran, timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba” (Riwayat Muslim)
Diluar keenam jenis barang ini dibolehkan asalkan dilakukan penyerahannya pada saat yang sama. Rasul Saw. Bersabda :
“Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar; satu dirham dengan dua dirham; satu sha’ dengan dua sha’ karena aku khawatir akan terjadinya riba (al-rama). Seorang bertanya; wahai Rasul, bagaimana jika seorang menjual seekor kuda dengan beberapa ekor kuda dan seekor unta dengan beberapa ekor unta ? Jawab Nabi Saw; “tidak mengapa, asal dilakukan dengan tangan ke tangan (langsung)” (HR Muslim)
Memang, pada dasarnya sedikit sulit untuk memahami secara jelas arti dari riba fadl, tetapi sesuai dengan hadis diatas dapat disimpulkan bahwa kita tidak boleh menukarkan barang yang sejenis tetapi berbeda takaran, kualitas, maupun dari aspek penyerahan (harus secara tunai ) hal ini dikarenakan akan timbul gharar dan dari ketidakjelasan ini akan menimbulkan, riba fadl.
Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk riba fadl pertukaran barang yang tidak sama kualitas dan takarannya untuk barang yang sejenis berupa emas, perak, gandum, tepung, kurma, dan garam, tidak bagus dilakuakan karena hal ini takutna akan menimbulkan riba[4]. Tetapi apabila pertukarannya berupa objek yang tidak sejenis meski jumlahnya berbeda hal ini diperbolehkan karena hal ini berupa tindakan jual beli (bukan riba) asalkan dilakukan secara langsung dari tangan ke tangan (tunai).
Kemudian dalam praktik perbankan, riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakuakan dengan tunai (spot). Karena pertukaran valuta asing kan berupa uang (kertas), kertas ditukarkan dengan kertas  (secara tunai), tetapi nilai pertukarannya berbeda. Misal 1 USD ditukarkan dengan Rp 9.084, hal yang demikian merupakan riba.

2.       Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah disebut juga sebagai riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghunmil) dan hasil usaha muncul bersama hasil biaya (al-kharaj bil dhaman). Transaksi ini semisal mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu.
Nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah munncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan anatra barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi ghunmu (untung) muncul tanpa adanya al-ghurmi(resiko), hasil usaha (al-kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman); al-kharaj dan dhaman muncul hanya dengan berjalannya waktu. Padahal dalam bisnis selalu mengalami adanya untung dan rugi. Memastikan sesuatu yang diluar wewenang manusia adalah bentuk kezhaliman[5]. Padahal justru itulah yang terjadi dalam riba nasi’ah, yakni memperlakukan sesuatu yang seharusnya bersifat uncertain (tidak pasti) menjadi certain (pasti). Pertukaran kewajiban menanggung beban (exchange of lialbility) ini, dapat menimbulkan tindakan zhalim terhadap satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lainnya.
Dalam perbankan konvensional, riba nasi;ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, giro, dan lain-lain. Bank sebagai kreditur yang memberikan pinjaman mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed and predetermined rate). Padahal nasabah yang mendapatkan pinjaman itu tidak mendapatkan keuntungan yang fixed and predetermined juga, karena dalam bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas, atau untung yang tidak dapat ditentukan dari awal. Jadi, mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, dan hal ini diharamkan.
Disimpulkan bahwa terjadi riba nasi’ah apabila sesuatu yang tidak pasti dijadikan hal yang pasti, dan pada saat terjadi transaksi pinjam-meminjamkan, kemudian ditetapkan pengembalian yang lebih dari jumlah yang dipinjamkan ini disebut sebagai riba nasi’ah.
Para pendukung konsep bunga mendasarkan argumentasi mereka dengan prinsip time value of money yang didefinisikan sebagaio berikut :
A dollar today is worth more than a dollar in the future because a dolla today can be invested to get a return
Definisi ini tidak akurat dikarenakan setiap investasi selalu mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan return positif, negatif, ataupun BEP (break event point). Itu sebabnya dalam teori finance, selalu dikenal risk-return relationship. Resiko ini tidak dapat dipastikan dan apabila dipastikan dapat menimbulkan riba nasi’ah.
3.       Riba Jahiliyah
Riba jahiliyah adalah utang yang dibayar melebihi pokok utang disaat si peminjam tidak dapat mengembalikan utangnya dalam jangka waktu yang ditetapkan. Riba jahilliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaidah “Kullu Qardin Manfa’atan fahuwa Riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Memberi pinjaman adalah transaksi tabarru’ yahni (QARD) sedangkan mengambil manfaat adalah transaksi komersil (tijarah). Jadi transaksi yang dari semula diniatklan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh dibah menjadi transaksi yang bermotif komersil atau bisnis.
Dari sisi penyerahan riba jahilliyah termasuk sebagai riba nasi’ah dan dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan, tergolong riba fadl. Tafsir Qurtuby menjelaskan :
“pada zaman Jahiliyyah para kreditur, pabila sudah jatuh tempo akan berkata kepada debitur; “Lunaskan utang Anda sekarang, atau Anda tunda pembayaran itu dengan tambahan”. Maka pihak debitur membayar tambahan dan kreditur menunggu waktu pembayaran yang baru” (Tapsir Qurtuby, 2/1157).
Dala perbankan konvensional, riba jahilliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.

Transaksi Riba
Riba Fadl à transaksi valuta asing secara tunai.
Riba Nasi’ah à Pembayaran bunga kredit, dan penerimaan bunga tabungan, depodito, dan giro.
Riba Jahilliyah à transaksi kartu kredit yang tidak dibayar secara penuh.


[1] Orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya sepeti orang yang kemasukan setan.
[2] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
[3] Iqbal Ahmad Khan Suhail, What is Riba?, terjemahan haqiqatuh Riba, (New Dehli: pharos Media & Publishing Pvt Ltd), 1999.
[4] Kesimpulan dari sabda Rasul Saw (HR Muslim).
[5] QS Al-Hasyr : 18 dan QS Luqman : 34

0 komentar: