Hukum
riba
Orang-orang yang
memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan setan karena gila[1]. Yang
demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal
Allah telah Menghalalkan jual beli
dan Mengharamkan riba. Barangsiapa
yang mendapat peringatan dari Tuhan-nya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah
diperolehnya dahulu menjadi miliknya[2] dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa yang mengulangi, maka mereka itu
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Q.S. al-Baqarah 2 : 275)
Berdasarkan dari
ayat diatas, Allah telah terang-terangan mengharamkan riba dan menghalalkan
jual beli untuk umat-Nya.
Kemudian,
berdasarkan ilmu fiqih, riba dikenal terdapat empat jenis riba, yaitu sebagai
berikut :
1.
Riba Fadl
2.
Riba Nasi’ah
3.
Riba Jahiliyah
4.
Riba Qard
1.
Riba Fadl
Riba fadl disebut
juga sebagai riba buyu’, yaitu riba yang timbulk akibat pertukaran barang
sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin),
sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi
yadin). Pertukaran sejenis ini mengandung gharar,
yaitu ketidakjelasan bagi kedua belah pihak akan masing-masing barang yang
dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap
salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain.
Berikut
contoh mengenai riba fadl dengan ketidakjelasannya
Ketika kaum Yahudi
kalah dalam perang Khabair, harta mereka diambil sebagai harta rampasan perang
(ghanimah), termasuk diantaranya perhiasan yang berupa emas dan perak. Tentu
saja perhiasan tersebut bukan gaya seorang muslimin dan muslimah yang
sederhana. Oleh karena itu, orang Yahudi berusaha membeli perhiasannya yanng
terbuat dari emas dan perak tersebut, yang akan dibayar dengan menggunakan uang
yang terbuat dari emas (dinar) dan perak (dirham). Jadi apabila ditelaah hal
ini bukan bentuk kegiatan jual beli melainkan pertukaran barang yang sejenis.
Emas ditukarkan dengan emas dan perak juga sebaliknya.
Perhiasan
perak yang beratnya setara dengan 40 dirham (satu uqiyah) dijual oleh kaum
Muslimin kepada kaum Yahudi sehargha dua atau tiga dirham, padahal perhiasan
tersebut dengan berat satu uqiyah dan jauh lebih daripada 2-3 dirham[3]. Jadi
berdasarkan ilustrasi diatas dapat dikonklusikan bahwa mengalami ketidak
jelasan (gharar) akan nilai perhiasan
perak dan dirham.
Mendengar hal
tersebut Rasulullah Saw. Bersabda:
“Dari Abu Said al-Khudri ra, Rasul Saw.
Bersabda; Transaksi pertukaran emas
dengan emas harus sama takarannya, timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; perak dengan perak harus sama takaran,
timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; gandum dengan gandum harus sama takaran,
timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; tepung dengan tepung harus sama takaran,
timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; korma dengan korma harus sama takaran,
timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; garam dengan garam harus sama takaran,
timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba” (Riwayat
Muslim)
Diluar
keenam jenis barang ini dibolehkan asalkan dilakukan penyerahannya pada saat
yang sama. Rasul Saw. Bersabda :
“Jangan
kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar; satu dirham dengan dua dirham;
satu sha’ dengan dua sha’ karena aku khawatir akan terjadinya riba (al-rama).
Seorang bertanya; wahai Rasul, bagaimana jika seorang menjual seekor kuda
dengan beberapa ekor kuda dan seekor unta dengan beberapa ekor unta ? Jawab
Nabi Saw; “tidak mengapa, asal dilakukan dengan tangan ke tangan (langsung)”
(HR Muslim)
Memang,
pada dasarnya sedikit sulit untuk memahami secara jelas arti dari riba fadl,
tetapi sesuai dengan hadis diatas dapat disimpulkan bahwa kita tidak boleh
menukarkan barang yang sejenis tetapi berbeda takaran, kualitas, maupun dari
aspek penyerahan (harus secara tunai ) hal ini dikarenakan akan timbul gharar
dan dari ketidakjelasan ini akan menimbulkan, riba fadl.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa untuk riba fadl pertukaran barang yang tidak sama
kualitas dan takarannya untuk barang yang sejenis berupa emas, perak, gandum,
tepung, kurma, dan garam, tidak bagus dilakuakan karena hal ini takutna akan
menimbulkan riba[4].
Tetapi apabila pertukarannya berupa objek yang tidak sejenis meski jumlahnya
berbeda hal ini diperbolehkan karena hal ini berupa tindakan jual beli (bukan
riba) asalkan dilakukan secara langsung dari tangan ke tangan (tunai).
Kemudian
dalam praktik perbankan, riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli
valuta asing yang tidak dilakuakan dengan tunai (spot). Karena pertukaran
valuta asing kan berupa uang (kertas), kertas ditukarkan dengan kertas (secara tunai), tetapi nilai pertukarannya
berbeda. Misal 1 USD ditukarkan dengan Rp 9.084, hal yang demikian merupakan
riba.
2.
Riba Nasi’ah
Riba
nasi’ah disebut juga sebagai riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang
piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu
bil ghunmil) dan hasil usaha muncul bersama hasil biaya (al-kharaj bil dhaman).
Transaksi ini semisal mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya
karena berjalannya waktu.
Nasi’ah
adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah munncul karena
adanya perbedaan, perubahan atau tambahan anatra barang yang diserahkan hari
ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi ghunmu (untung) muncul tanpa
adanya al-ghurmi(resiko), hasil usaha (al-kharaj) muncul tanpa adanya biaya
(dhaman); al-kharaj dan dhaman muncul hanya dengan berjalannya waktu. Padahal
dalam bisnis selalu mengalami adanya untung dan rugi. Memastikan sesuatu yang
diluar wewenang manusia adalah bentuk kezhaliman[5]. Padahal
justru itulah yang terjadi dalam riba nasi’ah, yakni memperlakukan sesuatu yang
seharusnya bersifat uncertain (tidak pasti) menjadi certain (pasti). Pertukaran
kewajiban menanggung beban (exchange of lialbility) ini, dapat menimbulkan
tindakan zhalim terhadap satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lainnya.
Dalam
perbankan konvensional, riba nasi;ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga
kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, giro, dan lain-lain. Bank
sebagai kreditur yang memberikan pinjaman mensyaratkan pembayaran bunga yang
besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed and
predetermined rate). Padahal nasabah yang mendapatkan pinjaman itu tidak
mendapatkan keuntungan yang fixed and predetermined juga, karena dalam bisnis
selalu ada kemungkinan rugi, impas, atau untung yang tidak dapat ditentukan
dari awal. Jadi, mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan
tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, dan hal ini diharamkan.
Disimpulkan bahwa terjadi riba
nasi’ah apabila sesuatu yang tidak pasti dijadikan hal yang pasti, dan pada
saat terjadi transaksi pinjam-meminjamkan, kemudian ditetapkan pengembalian
yang lebih dari jumlah yang dipinjamkan ini disebut sebagai riba nasi’ah.
Para
pendukung konsep bunga mendasarkan argumentasi mereka dengan prinsip time value
of money yang didefinisikan sebagaio berikut :
A dollar today is worth more
than a dollar in the future because a dolla today can be invested to get a
return
Definisi
ini tidak akurat dikarenakan setiap investasi selalu mempunyai kemungkinan
untuk mendapatkan return positif, negatif, ataupun BEP (break event point). Itu
sebabnya dalam teori finance, selalu dikenal risk-return relationship. Resiko
ini tidak dapat dipastikan dan apabila dipastikan dapat menimbulkan riba
nasi’ah.
3.
Riba Jahiliyah
Riba
jahiliyah adalah utang yang dibayar melebihi pokok utang disaat si peminjam
tidak dapat mengembalikan utangnya dalam jangka waktu yang ditetapkan. Riba
jahilliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaidah “Kullu Qardin Manfa’atan
fahuwa Riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Memberi
pinjaman adalah transaksi tabarru’ yahni (QARD) sedangkan mengambil manfaat
adalah transaksi komersil (tijarah). Jadi transaksi yang dari semula diniatklan
sebagai transaksi kebaikan tidak boleh dibah menjadi transaksi yang bermotif
komersil atau bisnis.
Dari
sisi penyerahan riba jahilliyah termasuk sebagai riba nasi’ah dan dari segi
kesamaan objek yang dipertukarkan, tergolong riba fadl. Tafsir Qurtuby
menjelaskan :
“pada
zaman Jahiliyyah para kreditur, pabila sudah jatuh tempo akan berkata kepada
debitur; “Lunaskan utang Anda sekarang, atau Anda tunda pembayaran itu dengan
tambahan”. Maka pihak debitur membayar tambahan dan kreditur menunggu waktu
pembayaran yang baru” (Tapsir Qurtuby, 2/1157).
Dala
perbankan konvensional, riba jahilliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga
pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.
Transaksi Riba
Riba
Fadl à transaksi
valuta asing secara tunai.
Riba
Nasi’ah à Pembayaran
bunga kredit, dan penerimaan bunga tabungan, depodito, dan giro.
Riba
Jahilliyah à transaksi
kartu kredit yang tidak dibayar secara penuh.
[1] Orang yang
mengambil riba tidak tenteram jiwanya sepeti orang yang kemasukan setan.
[2] Riba yang
sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
[3] Iqbal
Ahmad Khan Suhail, What is Riba?,
terjemahan haqiqatuh Riba, (New
Dehli: pharos Media & Publishing Pvt Ltd), 1999.
[4]
Kesimpulan dari sabda Rasul Saw (HR Muslim).
[5] QS
Al-Hasyr : 18 dan QS Luqman : 34
0 komentar:
Post a Comment